Sabtu, 19 Mei 2012

Live-in, Asyik Banget!


Live-in… sepertinya kata ini sudah tidak asing lagi kita dengar. Ya, live-in adalah kegiatan di mana kita (orang kota) menetap beberapa hari di desa sebagai bagian dari masyarakat setempat. Beruntung sekali di sekolah saya diadakan kegiatan ini secara rutin, yaitu setiap tahun bagi siswa-siswi kelas 11. Jadi saya sempat mencicipi bagaimana serunya jadi orang desa.


Live-in di sekolah saya setiap tahunnya berbeda tempat. Angkatan saya kebagian tempat di Dusun Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Sebelum pergi, kita sudah dibekali berbagai informasi tentang tempat live-in kita, jadi kita bisa mempersiapkan segala sesuatu dengan baik.

Karena perjalanan kita melalui jalur darat alias naik bus, kita berangkat sore hari supaya waktu tiba di sana saat pagi hari. Baru perjalanan perginya saja sudah mantap, ±14 jam duduk di bus (tidak termasuk waktu berhenti). Berasa kram juga satu badan…hahaha

Setibanya kita di lokasi live-in, kita semua berkumpul di kapel. Di sana diadakan penyambutan oleh warga desa serta pembagian rumah tinggal kita. Ternyata saya dan teman serumah saya tinggal di rumah seorang ibu bernama Ibu Painah. Tempat tinggal kita ternyata masuk ke dalam hutan dan lumayan dekat dengan kapel. Lumayan beruntung sih, karena ternyata teman-teman saya banyak yang tempat tinggalnya lebih jauh. Bahkan ada yang terpencil di atas bukit dan untuk ke mana-mana, harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh.

Di sini, mayoritas penduduk bermata pencaharian bercocok tanam. Karena sulitnya memperoleh air, jadi rata-rata penduduk bercocok tanam di ladang, seperti Bu Painah ini. Tetapi tidak semua dari kita tinggal di rumah penduduk yang pekerjaannya bercocok tanam. Ada teman saya yang orangtua asuhnya memiliki usaha warung, ada yang orangtua asuhnya peternak, dan yang paling unik, ada yang berprofesi sebagai kontraktor dan di sekitarnya rumahnya selalu terdengar bunyi gergaji memotong kayu.

Untuk urusan transportasi, di sini agak susah. Jarak dari rumah satu ke rumah yang lain sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi harus melalui jalanan yang agak curam dan berbatu-batu. Selain itu, di sini minim sekali alat transportasi seperti motor apalagi mobil. Jika mau naik bus, kita harus pergi ke pasar yang jaraknya ±5km dari kapel. Sebenarnya di sini banyak jalan pintas, tetapi karena jalanannya menembus hutan, jadi saya dan teman-teman jarang menggunakan jalan ini karena takut nyasar.

Mengenai tempat tinggal, kebanyakan penduduk di sini sudah memiliki rumah yang cukup memadai  berdindingkan tembok. Saya sendiri tinggal di rumah sederhana yang hanya berdindingkan kayu, beralas tanah, dan tidak memiliki WC. Oh ya, sekedar info, semua rumah di desa ini tidak memiliki pagar pembatas. Jadi siapapun yang hendak bertamu bisa langsung masuk ke dalam rumah.

Meskipun tinggal di rumah yang amat sederhana, saya betah tinggal di sini. Kesan pertama saya terhadap orangtua asuh kita sangat menyenangkan. Ibu Painah sangat ramah dan senang menyediakan makanan. Beliau pun senang mengobrol.  Baru 1 hari saja, kita sudah dekat sehingga live-in sama sekali tidak membosankan.

Oh ya, ngomong-ngomong tentang tidak ada WC. Di dekat rumah ada sebuah lubang untuk BAB dan hanya ditutupi dengan kain putih di sekelilingnya. Saat mandi, tidak kalah seru. Saya dan beberapa teman perempuan pergi mandi bersama karena rumah kita bertetangga. Kita mandi di tepi sebuah mata air dan…byur-byur-byur di alam terbuka. Bagaimana rasanya? Tak terungkapkan! hahaha

Kembali ke topik, kegiatan kita di selama di desa lumayan padat. Kalau di rumah, kita menemani Bu Painah dan menjagai ayam dan kambingnya yang mau masuk ke rumah. Kadang kita pun mengajak Yanti-cucu dari anak angkat Bu Painah- bermain. Tetapi kita lebih sering ikut kegiatan di luar rumah.

Karena kekeluargaan orang desa amatlah erat, beberapa kali kita membantu untuk event-event bersama, seperti membersihkan kapel, memasak untuk syukuran, dan ikut berdoa Novena. Saya sangat excited saat acara syukuran. Saat itu, tetangga sayalah yang mengadakan syukuran karena anaknya baru saja berhasil menjalani ulangan umum-anaknya itu seumur dengan saya. Yang membuat saya takjub adalah sepertinya momen ini biasa-biasa saja, tetapi mereka sangat menghargai saat-saat di mana kita berkumpul, berdoa, lalu makan bersama. Inilah salah satu hal yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya.

Lalu, saat bekerja bakti di kapel. Kita bisa melihat Jakarta 180 derajat berbeda. Di sini, semua masyarakat merasa memiliki kapel itu, sehingga siapapun yang bisa datang, ikut membersihkan kapel apapun pekerjaannya. Ada yang mencabut rumput, ada yang memasang tenda, ada yang menyapu, dan ada pula yang mengepel lantai kapel. Benar-benar kekompakan yang luar biasa!

Di sini penduduknya benar-benar ramah dan ringan tangan-dalam arti positif. Saat itu, saya dan beberapa teman yang baru saja selesai mandi sore terlambat pulang karena saling menunggu. Sialnya, kita lupa membawa senter dan saat itu sudah hampir maghrib. Maghrib di desa sangat berbeda dengan di kota. Jika di kota, kita masih bisa berjalan-jalan karena adanya lampu penerang jalan. Tetapi di desa, jika matahari sudah terbenam dan kita lupa membawa senter, habislah kita-kecuali warga setempat yang sudah terbiasa. Kita benar-benar kalut dan hampir tersesat karena tidak dapat melihat penanda jalan ke rumah. (penandanya hanya pohon dan batu) Jadi, kita pun minta tolong kepada seorang ibu yang rumahnya di sekitar posisi kita saat itu. Meskipun sedang mengurusi anaknya, ibu ini tetap mengantarkan kita sampai kembali ke rumah. Puji Tuhan!

Saat acara penutupan, semua teman berkumpul di kapel dan kita pun saling bercerita tentang keadaan satu sama lain. Ternyata kebanyakan rumah sudah memiliki WC, jadi pengalaman saya sepertinya sangat langka..hahaha. Lalu, 2 teman saya yang rumahnya terpencil di atas bukit itu bercerita tentang pengalamannya membawa pulang kayu bakar. Meskipun anak laki-laki dan suka olahraga, mereka tidak sanggup membawa banyak kayu bakar- yang ternyata berat. Sedangkan orangtua asuh mereka, bapak-bapak bertubuh kecil, sanggup membawa jauh lebih banyak kayu ketimbang mereka. Pengalaman lain yang mirip, teman saya yang lain pernah bertemu seorang nenek yang berjalan sendirian di atas bukit membawa pulang setumpuk kayu bakar sendirian. Dari sini saya berkesimpulan, sepertinya tinggal di desa baik untuk kesehatan…hahaha

Dan saat paling menyedihkan selama live-in hanya ada 1, yaitu saat perpisahan. Malam hari setelah acara penutupan di kapel, saya dan teman-teman saya memberikan hadiah atau bingkisan kecil untuk kenang-kenangan bagi orangtua asuh kita. Begitu pula dengan sang orangtua asuh, memberikan kita makanan untuk dibawa pulang.  Lalu pagi harinya, kita beserta beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul di kapel. Setelah kepala desa membawakan pidato terima kasihnya, bus datang dan kita semua satu per satu memasukkan barang ke dalam bus. Saat itu benar-benar mengharukan karena banyak dari kita dan para orangtua yang menangis. Kekeluargaan yang terjalin selama 4 hari ini akhirnya harus berakhir dengan perpisahan. Namun inilah dinamika hidup, ada pertemuan, ada pula perpisahan.

Meskipun kita belum tentu bisa kembali lagi ke sana, kita sempat memberikan alamat kita dan bertukar nomor telepon dengan orangtua asuh kita.  Jadi sewaktu-waktu kita bisa saling menghubungi atapun berkirim kabar. 

Demikianlah kisah live-in angkatan saya di Dusun Samigaluh. Semoga dapat memberikan hikmah bagi siapapun yang membaca. Terima kasih J


Galeri foto: 



     Berfoto bersama anak-anak warga setempat


    Siap Bekerja!


    Malu-malu tapi senyum J


    Memasak bersama untuk acara syukuran


    Berfoto di kapel


    Menyempatkan waktu ke Candi Prambanan...hahaha
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...